Darmediatama.com – Perjanjian AFTA (ASEAN Free Trade Area) merupakan salah satu tonggak penting dalam perjalanan integrasi ekonomi kawasan Asia Tenggara. Dimulai sejak 1992 dan diimplementasikan penuh antara 2010 hingga 2020 oleh seluruh negara anggota ASEAN, AFTA bertujuan meningkatkan daya saing regional melalui penghapusan tarif barang antarnegara anggota dan harmonisasi kebijakan ekonomi.
Namun pada tahun 2025, berbagai kajian dan pengamatan memperlihatkan bahwa AFTA tidak memberikan manfaat yang merata. Dalam konteks ini, muncul satu pertanyaan reflektif: Apakah perjanjian AFTA di tahun 2025 lebih banyak merugikan negara yang tidak mempersiapkan diri sejak awal? Dalam tinjauan keilmuan dan rasionalitas, serta berdasarkan regulasi-regulasi regional yang berlaku, pertanyaan ini dapat dijawab dengan pendekatan analisis ilmiah.
Ketimpangan Manfaat: Negara Siap vs. Negara Tertinggal
AFTA memberikan keuntungan signifikan bagi negara dengan infrastruktur industri, teknologi, dan regulasi yang telah mapan—seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Negara-negara ini mampu memproduksi barang dengan efisiensi tinggi, lalu mengekspornya ke sesama anggota ASEAN tanpa bea masuk, berkat skema tarif 0–5% CEPT (Common Effective Preferential Tariff). Akibatnya, mereka mendominasi pasar regional.
Sebaliknya, negara-negara seperti Laos, Myanmar, dan sebagian sektor di Indonesia menghadapi tantangan serius. Kurangnya kesiapan dari segi teknologi, kualitas sumber daya manusia, dan dukungan kebijakan dalam negeri membuat produk mereka sulit bersaing. Dalam kasus Indonesia, misalnya, banyak UMKM dan industri kecil terdesak oleh produk asing yang lebih murah dan lebih terstandar.
Dengan demikian, argumen bahwa “perjanjian AFTA di tahun 2025 lebih banyak merugikan negara yang tidak mempersiapkan dari awal” dapat dibenarkan secara ilmiah. Ketimpangan manfaat ini merupakan konsekuensi logis dari perbedaan tingkat kesiapan ekonomi nasional saat memasuki era liberalisasi perdagangan regional.
Dampak Politik dan Militer: Tidak Langsung Namun Relevan
Walau AFTA adalah perjanjian ekonomi, dampaknya juga menyentuh aspek politik. Penguatan institusional ASEAN melalui liberalisasi ekonomi meningkatkan peran politik regional dalam forum global. Negara-negara anggota harus menyesuaikan peraturan dalam negerinya dengan standar regional, yang dapat menimbulkan dinamika politik domestik, terutama ketika menyangkut sektor strategis atau rentan.
Namun secara militer, AFTA tidak memiliki dampak langsung. Tidak ada klausul pertahanan atau kerja sama militer dalam perjanjian ini. Isu-isu keamanan tetap berada dalam forum-forum khusus seperti ASEAN Regional Forum (ARF) atau ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM). Meski begitu, meningkatnya interdependensi ekonomi di kawasan turut berkontribusi pada stabilitas politik dan mengurangi potensi konflik terbuka.
Kompatibilitas Regulasi dan Rasionalitas Ekonomi
Dari sudut pandang keilmuan dan regulasi, AFTA adalah kebijakan yang kompatibel dengan teori perdagangan bebas klasik dan integrasi regional modern. Namun, efektivitasnya sangat tergantung pada kesiapan nasional. Negara yang gagal membangun kesiapan struktur ekonomi, regulasi perlindungan industri, dan dukungan UMKM justru menghadapi tekanan berat—baik dari sisi pasar domestik maupun ekspor.
Dalam konteks ini, pemahaman rasional dan empiris mendukung pendapat bahwa keterlambatan persiapan berdampak pada kerugian jangka panjang. Liberalisasi ekonomi memerlukan strategi nasional jangka menengah dan panjang yang sinergis antara pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta.
Kesimpulannya
Perjanjian AFTA pada 2025 tidak serta-merta membawa manfaat universal bagi seluruh negara anggota ASEAN. Sebaliknya, ia memperlihatkan wajah ganda: sebagai peluang besar bagi negara siap, dan tantangan berat bagi negara yang tertinggal dalam persiapan. Dengan demikian, pendapat bahwa “perjanjian AFTA di tahun 2025 lebih banyak merugikan negara yang tidak mempersiapkan dari awal” adalah suatu bentuk kritik berbasis realitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan rasional. Hal ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi penyusunan kebijakan integrasi ekonomi di masa depan, baik di ASEAN maupun secara global.